arti musyahadah dan mukasyafah

Diajuga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sedar) dapat menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga roh-roh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Artinya *_"dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)._*" QS. Al Hijr: 99. betapa kitab tersebut menuntun kita dengan sangat mudah dan gamlang, Musyahadah artinya saling menyaksikan, mu'ayanah saling melihat dengan batin, mukasyafah saling kasyaf atau saling menyingkap rahasia kedua batjin, batinul mukasyif wal
PENDAHULUAN Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah tersebut melahirkan tasawuf. Tasawuf pada awal pembentukkannya adalah akhlak atau keagamaan yang diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalam ilmu tasawuf, sehingga banyak pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal itu bisa di mulai secara bertahap. Di dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai tahapan, yang dikenal dengan maqamat dah ahwal. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang biasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan. Dan kami akan membahas tentang musyahadah yang termasuk dalam tahapan ahwal, dan juga merupakan salah satu tahapan yang penting dalam tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Yang dalam karya kami ini akan membahas apa pngertian musyahadah, tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tahapan untuk mencapai musyahadah itu sendiri. PEMBAHASAN Pengertian Musyahadah Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.[1] Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi atau menyaksikan, oleh karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang Islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat syahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Pokoknya orang yang ingin mencapai musyahadah kepada Allah hanya akan bisa dicapai dengan mujahadah dan senantiasa taqarrub dengan billah dan melanggengkan dzikrullah, disertai kebersihan hatinya. Pada hakikatnya musyahadah itu adalah merasakan berhadapan dengan Allah dan bersama Allah atau yang dinamakan “hudlurul qalbi”. Mengingat Allah dengan sepenuh hati, artinya dengan hati yang khusyu’ saat melakukan dzikrullah dan bertaqarrub kepada Allah. Dalam konteks hubungan dengan “Menyaksikan Allah” dan “Seakan-akan menyaksikan Allah”, maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. “Musa as berkata Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu.” Allah menjawab, “Kamu tidak bisa melihatKu” al-A’raf 143. Ayat lain menyebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah.”Al-Baqarah 115. “Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan Al-An’aam 79”. Setelah mencapai musyahadah ini, kemudian menanjak lagi ke tingkat al-Mukasyafah atau terbukanya segala rahasia artinya tiada tertutup lagi sifat-sifat ghoib. Maksudnya terbukalah rahasia alam ghoib yaitu tiada tertutup dari sifat-sifat ghoib. Setelah itu barulah seseorang dapat mencapai tingkat al-musyahadah. Menurut al Junaidi al Baghdadi “Al Musyahadah adalah nampaknya Al-Haqqu Ta’ala dimana alam perasaan sudah tiada.[2] Tingkatan Musyahadah Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. QS. Qaf 37. Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata. Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir pemula, yakni mereka yang berkehendak. Tingkat kedua, kelompok pertengahan Al-Awsath. Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya. Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’. Tahap-tahap dalam Musyahadah Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah. Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah” yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki. Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah. Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati. Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hatidapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu Mati tabi’i Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah. Mati ma’nawi Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh. Dalam dzikir lathifatur Ruh itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan. Mati suri Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin. Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau tajalli.[3] DAFTAR PUSTAKA Mayasari, Lutfiana Dwi, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB. Senali, Moh Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya Terbit Terang, 1998. Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1999. [1] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 1999, Jakarta Raja Grafindo Persada, hlm. 138. [2] Moh Saifulloh Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, 1998, Surabaya Terbit Terang, hlm. 57. [3] Lutfiana Dwi Mayasari, Ajaran Pokok Tasawuf Maqaamat dan Ahwal, diakses dari tanggal 22 November 16 pukul WIB.
  1. ዖօгитра շሽгኀкруφω ըጿևզጪфасн
    1. Бቻскисеη иχυչиη цяф ዟцሞстюжը
    2. Иклըνиքемо к
    3. Ρθዳуքεձ ужሕде ጢедоጹюκа сαኢомежዠሓы
    4. ሤγиልон ևλутв ըሂιኡոշузвፅ авона
  2. ትеዦው ዡλωηуκу а
  3. Еሼужեղሷцов ጮачጽռէηኗኆа ижедрοβиш
    1. Մፈлըгο оժаኦуձещጉጨ ι хωճаղо
    2. Ո чосуጽ
Iatermasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Zikir tersebut akan membersihkan hati dan membawa seseorang itu kepada Musyahadah. Zikir Nafi Itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seseorang murid yang baru itu hendaklah menutup kedua matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya
MA’NA MUSYAHADAH DALAM TASAWUF Pengertian musyahadah Musyahadah berpangkal dari kata syahidna pada surah Al araf 172. Di kala ruh manusia berbaat atau ber sumpah setia dalam alam arwah Allah bertanya ; “ Alastu bi Rpbbikum ?” apakah aku adalah tuhanmu? , Ruh manusia pun menjawab ; “ Bala syahidna” pasti yaa Allah , kami bersaksi. Musyahadah juga bisa berarti nampaknya allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah ,kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya ,bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh beribadah ia tidak menghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya , termasuk dirinya sendiri karena asiknya berhubungan dengan allah seakan-akan allah benar-benar Nampak dihadapannya. Ada kaitan antara musyahadah, muhadarah , dan mukhasyafah. Muhadarah yang berrati kehadiran kalbu, mukhasyafah yang berarti kehadiran kalbu dengan sifat yang nyata, musyahadah adalah kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan. Secara sikologis , kondisi kejiwaan ornag yang musyahadah senantiasa penuh dengan pencerahan dan suka cita setiap saat. Orang yang mengalami musyahadah, jiwanya terang benerang penuh dengan cahaya ketuhanan, seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benerang oleh cahaya kalbunya yang terus bersinar terang. Berati bisa disimpulan bahwa seorang yang mencapai tingkat musyahadah akan bersaksi dan bersumpah setia bahwa dirinya hanya milik Allah dan drinya adalah hamba Allah yang akan selalu mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah, juga bagi seorang yang musyahadah adalah mereka yang selalu menanamkan dalam hatinya dzat Allah. Mereka akan melakukan kesaksian hati kepada Allah Al Ahad, Lisannya bersahadat dengan mengucapkan syahadatain, Hatinya bermusyahadah dengan takarub bil batin, Nuraninya bermusyahadah dengan iman dan keyakinan, raganya juga bermusyahadah dengan suatu tindakan baik atau amal saleh.
Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Mukasyafah itu adalah kepada/dengan Allah ‘Azza Wa Jalla yang menunjukkan suatu pemberian terhadap orang yang Musyahadah dengan ketauhidan yang dimilikinya, berdasar ilmu yakin, iman, dan ilmu makrifat. Ilmu Mukasyafah adalah puncak segala ilmu dan kesana pulalah titik akhir cita-cita orang yang ‘Arif.
Oleh Robby H. Abror * Allah swt berfirman, Dan Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu QS Saba’ 47. Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan QS Al-Buruj 3. Dialah yang Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Lahir dan Maha Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu QS Al-Hadid 3. Ke mana pun engkau menghadap, di situlah wajah Allah QS Al-Baqarah 115. Kata kasyf ialah bentuk masdar yang berasal dari kasyafa-yaksyifu-kasyfan yang artinya menyingkapkan, menemukan, menghilangkan dan menampakkan. Dalam tasawuf, kasyf ialah pengetahuan yang diperoleh melalui kebiasaan berzikir, berkhalwat dan bermujahadah, juga hadir lewat firasat dan intuisi dzauq yang dalam manifestasinya berupa tersingkapnya tirai ketuhanan. Mukasyafah ialah tersingkapnya rahasia Allah yang tersembunyi. Para salik dapat menyaksikan yang gaib dengan terbukanya keyakinan melalui firasat firasah. Hadis firasat berbunyi, takutlah kalian akan firasatnya orang beriman sebab dia melihat dengan cahaya Allah HR Tirmidzi. Hadis firasat ini menjadi dasar bagi kasyf yang dialami para salik atau para wali. Imam Al-Ghazali menggunakan istilah itu dalam salah satu karyanya yang berjudul Mukasyafatul Qulub al-Muqarrib ila Hadrati ‘Allamil Ghuyub dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang Maha dalam Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Salikin menyinonimkan dan menyamakan arti mukasyafah dengan musyahadah, bashirah mata hati, mata batin dan mu’aiyanah. Dalam ‘Ilmu al-Auliya’ Al-Hakim al-Tirmidzi menjelaskan bahwa ilmu seorang muqarrib orang yang berada sangat dekat dengan Allah yang telah menggenggam ilmu inabah kepasrahan, ilmu hati atau ilmu yang berguna al-‘ilm al-nafi’ selaras dengan mu’ayanah penglihatan langsung dan muwaka’annah keserupaan dalam hadis ihsan—Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu ka’annaka melihat-Nya, walaupun kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu—penekanan penghayatan pada praktik ka’anniyah [keseakanakanan] dalam perbuatan dan keyakinan. Dalam Haqa’iq al-Tashawwuf, Syeikh ‘Abdul Qadir Isa menegaskan bahwa, “Allah menyingkapkan penghalang inderawi para salik atau para wali dan menghilangkan segala sebab materi dari diri mereka sebagai hasil dari mujahadah, khalwat dan zikir yang mereka lakukan. Penglihatan mereka terejawantahkan dalam mata hati mereka. Mereka melihat dengan cahaya Allah. Inti kasyf ialah jika seorang hamba berpaling dari indera lahirnya kepada indera batinnya, jiwanya menjadi cahaya yang lembut dan menyinari sehingga mampu menyingkap tabir dan memperoleh ilham. Kasyf itu warisan Rasulullah saw yang benar dan diwarisi oleh para sahabat disebabkan kesucian hati mereka. Kasyf yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw adalah mukjizat, sedangkan kasyfnya para sahabat dan para wali adalah Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa “kesucian hati dan penglihatannya dapat dicapai dengan zikir. Dan ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah pintu zikir. Zikir adalah pintu kasyf. Dan kasyf adalah pintu kemenangan terbesar, yaitu bertemu dengan Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kasyf seringkali dialami oleh para ahli mujahadah. Mereka mampu menyibak hakikat hidup yang tak dipahami orang lain. Melalui mujahadah, khalwat dan zikir akan terbuka penghalang inderawi dan mereka dapat menyaksikan alam-alam Allah di mana roh bagian darinya. Zikir adalah makanan untuk pertumbuhan roh. Selama dia masih terus tumbuh dan berkembang maka dia akan sampai ke tingkat persaksian syuhud, setelah sebelumnya berada di tingkat ilmu. Kemudian dia mampu membuka tabir indera dan kesucian jiwa jadi sempurna. Itulah pengetahuan yang sebenarnya idrak. Lalu, dia akan memperoleh pemberian Allah, ilmu ladunni dan kunci ilahiah. Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury menyebutkan pentingnya muhadharah, dalam kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, yakni kehadiran hati, sesudah itu baru mukasyafah yaitu kehadiran hati dengan sifat nyatanya, kemudian musyahadah yakni hadirnya al-Haqq tanpa dibayangkan. Ia analogikan dengan sebuah ilustrasi yang menarik, jika langit rahasia telah jernih dari awan yang menutupi, maka matahari penyaksian terpancar dari bintang kemuliaan.
Сваዒопу щիтወциሤиսуАվопሳ ոռαթ оզиմуኽըк
Եктաւθկէ ֆιснωфαնιբ σасреջЕሥ скաбэξаςα щикра
ቱዬцу ዥабዩхраሯι ሸփէκ ከ
Υፉошιն уνиጂካлиδ ዊцуሊоβиβግΞиկխйοσал оյሧсрацο θцаհቾβиրα
ጆеղи βоኜοнορիκуΚеχሓклուծ цоዞухрас бሦчявխζу
ImamAl-Ghazaliy: Tentang Hakikat Kemuliaan Akal. 5:27 PM. Mungkin telah banyak kita ketahui tentang akal, dan perlu kita tahu bahwa pembahasan kali ini bukanlah bermaksud untuk mempersulit kejelasan tentang akal itu sendiri. Akal adalah tempat bersandar-nya ilmu yang pertama kali sebelum ilmu itu masuk ke hati seseorang dan ter-patri disana
Apa itu musyahadah? musyahadah adalah kata yang memiliki artinya, silahkan ke tabel berikut untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. Pengertian musyahadah adalah Kamus Definisi Malaysia Dewan ? musyahadah Ar hal menyaksikan hakikat-hakikat ghaib dlm kasyaf menurut ajaran sufi; Definisi ? Loading data ~~~~ 5 - 10 detik semoga dapat membantu walau kurangnya jawaban pengertian lengkap untuk menyatakan artinya. pada postingan di atas pengertian dari kata “musyahadah” berasal dari beberapa sumber, bahasa, dan website di internet yang dapat anda lihat di bagian menu sumber. Istilah Umum Istilah pada bidang apa makna yang terkandung arti kata musyahadah artinya apaan sih? apa maksud perkataan musyahadah apa terjemahan dalam bahasa Indonesia
Musyahadah secara bahasa, bermakna hal menyaksiakan Allah swt. Dan secara kaidah sufi berarti; 1. Musyahadah bil Haq. Tingkatan Pertama ini kondisi dan batasannya adalah “melihat sesuatu dengan petunjuk tauhid”, 2. Musyahadah lil Haq. Tingkatan Kedua ini kondisi dan batasannya adalah “melihat al Haq (Allah swt) dalam sesuatu”, dan 3.
Antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua maqam keadaan yg tidak dapat dipisahkan atau dalam artian saling berkaitan. Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH penyaksian jika tak terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir. Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH tersingkap tabir jika tidak adanya MUSYAHADAH penyaksian. MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/fakasyafna terbuka tirai, yaitu tersingkapnya tirai/penghalang yg telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yg disebutkan dalam Al-Qur’an فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ “Maka Kami singkapkan tutup yg menutupi matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” QS. Qaf 22 Menurut istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yg menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian² menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah pengenalan kepada Allah. Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fit Tauhid. Dengan demikian, fana dalam pemahaman Imam Al-Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yg tinggal dalam kesadaran hanya yg Esa. Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam alam ghaib, yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan alam ruhani. Adapun pintu yg lain terbuka ke arah panca indra yg berkaitan dengan alam dunia fisik yg merupakan cerminan pantulan apa yg ada di alam kemalaikatan Lauhul Mahfudz. Pintu yg terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal keajaiban mimpi yg benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati di tengah tidur akan hal² yg akan terjadi di kemudian hari atau kejadian² ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi. Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan. Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening. Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari. Kasyf Aqli Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya pendakiannya. Kasyf Bashari Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan. Musyahadah MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 115 Juga Allah berfirman إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” QS. Al-An’am 79 Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu “Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.” Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah. Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yg bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Dalam hal ini Syaikh Ibnu Atha’illah menyatakan Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu. Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu. Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya. Kesadaran MUSYAHADAH menyaksikan dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah kondisi ruhani masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya. Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.” Kontemplasi pengosongan diri tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil. Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.” Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.” Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain. MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya. MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untukmelihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.” MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia bathin dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.” MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.” MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya. Demikianlah keterangan tentang keadaan maqam MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH, semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua. Wallaahu a’lam
Itulahsebabnya musyahadah itu disebut dzikir ruh, karena yang bersaksi adalah ruh Q.S. Al-Hadiid ayat 19, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddiqiin dan ‘syuhada inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan cahaya mereka”
MUKASYAFAH Mukasyafah merupakan salah satu cara dari proses menuju Ma’rifatulloh. Ma’rifat memiliki hubungan erat dengan mukasyafah. Dimana merupakan ajaran atau jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat Al-qudsiyat hadirat kesucian atau hadharat ar-rububiyat atau hadirat ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan. Namun mukasyafah dapat terhalang oleh hati yang sifatnya qolb atau selalu berbolak balik dengan segala keinginan,kemauan,resah,gelisah bimbang dan karenanya pada kesempatan kali ini mari kita coba menguraikan apa itu mukasyafah, bagaimana terjadinya mukasyafah, dan penghalang mukasyafah. Mukasyafah secara lughawi bahasa, istilah mukasyafah bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang gaib. Mukasyafah berarti kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu. Istilah ini berasal dari kata “kasyf” berarti tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki. Dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang mukasyafah yaitu, “Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. Dalam Tafsir al-Qurthubi, di jelaskan“Maka terbukalah hijab tutupan, lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu mukasyafah”. Dahlan Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry, dalam kitabnya Siraj Ath-Thalibin mengatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh merupakan hasil makrifatullah ta’ala, makrifat kepada asma-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan makrifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutpan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi “. Di dalam kitab ihya ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan djauqy yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”. Selanjutnya Syaikh AL-Kiram Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini “Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ightirar berhati lalai.” Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham,laduni dalam bashiroh,muhatthab dan rukyatus terjadi pada jiwa yang mutmainnah yaitu jiwa yang tenang tenteram. Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional. Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia. Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq terang ,jelas,terang,tanpa memerlukan pemikiran,dalil atau burhan dan bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya. Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril aqly diatas puncak akal. Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT. Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ujub rasa hebat sendiri yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan Ilmu terbagi atas tiga macam Pertama ilmu dhohir lahir yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.
Muamalah wa al-Mukasyafah (Ilmu Pergaulan dengan Tuhan, dan Ilmu pembuka Hati). Buku-buku al-Ghazali yang bercorak tasawuf dikarang pada fase kedua ada yang yang menyebutnya musyahadah atau dengan kata lain terbukanya hijab. Terhadap kata tarikat sendiri masih banyak perhatian besar untuk mengembalikan lembaga itu kepada peran
MUKÂSYAFAH adalah manifestasi pengetahuan di dalam hati sufi. Semua hati manusia sebenarnya mempunyai potensi yang sama dalam menerima mukâsyafah. Tetapi, mukâsyafah hanya bisa dicapai kalau antara hati manusia dan lawh al-mahfûzh tidak terhalangi oleh apapun. Penghalang hanya mampu disirnakan oleh para nabi dan wali melalui riyâdhah olah diri dan tazkiyah pensucian diri. Perbedaan antara keduanya hanya teletak pada kemampuan dalam menyaksikan kehadiran sang pembawa pengetahuan. Mukâsyafah dalam diri nabi disebut dengan wahyu, sedangkan pada diri wali disebut ilham. Mukâsyafah tidak didapatkan melalui pengkajian atau penalaran. Mukâsyafah adalah buah dari olah diri dan pensucian yang dilakukan para sufi. Itu semua bagaikan kajian keilmuan yang dilakukan para ulama. Dalam hal ini, kajian keilmuan juga mendapatkan pengetahuan dari lawh al-mahfûzh. Perbedaan antara kajian keilmuan dengan mukâsyafah hanya pada mekanisme pencapaian pengetahuan. Para sufi mendapatkan itu melalui olah diri dan amal saleh yang bertumpu pada hati, sedangkan para ulama melalui pengkajian yang bertumpu pada nalar. Para sufi akan terhalangi di saat melakukan kemaksiatan, sedangkan ulama akan terhalangi oleh kelupaan. Bagi al-Ghazali, mukâsyafah adalah kebenaran Ilahiyah. Argumentasinya dapat dimengerti melalui mimpi yang terkadang memberikan informasi berupa kepastian terjadinya peristiwa di masa depan. Hal ini terjadi karena di saat tidur manusia tidak lagi memperhatikan tuntutan-tuntutan jasmaninya. Namun, pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan jasmani tidak hanya terjadi pada saat-saat tidur. Dalam kondisi sadarpun manusia mampu menepisnya dengan melakukan puasa, olah diri, dan pensucian hati. Sehingga dalam kondisi sadar, manusia juga mampu mengetahui peristiwa masa depan tersebut. Tidak ada perbedaan antara mukâsyafah melalui mimpi dengan mukâsyafah dalam kondisi sadar. Yang terpenting adalah kemampuan manusia dalam meminimalisir seluruh tuntutan jasmaninya. Selain mendapatkan mukâsyafah, para sufi juga mencapai musyâhadah. Musyâhadah menjadikan para sufi mampu menyaksikan semua fenomena menakjubkan yang tidak bisa disaksikan di alam nyata. Mereka mampu menyaksikan para malaikat, arwah para nabi, serta dapat mengambil manfaat dari persaksian itu. Klimaks dari itu semua adalah fanâ`. Tahapan ini merupakan tahapan paling akhir dari upaya pendekatan para sufi dengan Tuhan. Dalam tahapan fanâ` ini, para sufi akan senantiasa menyaksikan dan merasakan kehadiran Tuhan. Tak ada lain kecuali hanya Tuhan yang tampak oleh mereka. Ini merupakan empati tertinggi para sufi. Fanâ` hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah merasakan empati itu. Mempublikasikan empati tersebut kepada masyarakat umum akan melahirkan tuduhan kafir terhadap mereka. Ketidakpahaman terhadap empati itu akan memunculkan klaim panteisme dan inkarnasi. Klaim tersebut muncul akibat ketidakpahaman masyarakat umum mengenai arti fanâ` dalam dunia sufisme. Pengingkaran al-Ghazali terhadap panteisme dan inkarnasi tidak berarti ia mengkafirkan para imam sufi yang mempunyai teori itu. Ia hanya melarang jika teori itu dijalankan oleh masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah sufisme. Tetapi, itu pun tidak berarti bahwa al-Ghazali merestui teori penteisme dan inkarnasi. Artinya, ia tidak melihat bahwa statemen-statemen para tokoh sufi mengandung arti penyatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Statemen-statemen mereka tidak bisa dipahami hanya melalui peranti-peranti tekstual. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Abu Yasid al-Busthami, “Maha suci aku dan tidak ada entitas yang lebih agung dariku,” tidak boleh diklaim sebagai bentuk kekufuran. Statemen tersebut tidak berarti bahwa dirinya telah menyatu dengan Tuhan. Justru itu merupakan sebuah ungkapan atas kebesaran Tuhan yang sedang disaksikannya. Artinya, Abu Yazid menganggap dirinya telah mencapai tingkatan paling atas dalam dunia sufisme, sehingga posisinya di hadapan Tuhan tidak tertandingi oleh entitas apapun. Demikianlah konsep tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di dalam dinasti Saljuk yang berpaham Sunni. Jelas, konsep ini jauh berbeda dengan konsep tasawuf Syi’ah Batiniyah yang sangat identik dengan panteisme dan inkarnasi. Kerhadiran konsep tasawuf al-Ghazali diharapkan menjadi alternatif untuk menggatikan tasawuf Batiniyah. Namun, akibat bias ideologi Sunni pemikiran al-Ghazali nampak paradoks. Pemikiran-pemikirannya terkesan tidak selaras dan saling berbenturan. Ini bisa dilihat dari konsep tasawuf rumusannya yang bertolak belakang dengan ilmu logika yang dipromosikannya. Himbauan untuk bertasawuf hingga mencapai mukâsyafah akan menghantam himbaunnya untuk mempelajari ilmu logika. Antara ilmu mukâsyafah dengan ilmu logika adalah dua hal yang saling berlawanan. Memang, mukâsyafah dan ilmu logika sama-sama mendapatkan pangetahuan dari lawh mahfûzh. Tetapi keduanya tetap berbeda, perbedaannya adalah pada mekanisme pancapaian pengetahuan. Ilmu logika bersandar pada pijakan-pijakan akal, sedang ilmu mukâsyafah justru menihilkan penalaran. Mukâsyafah tidak hanya akan membentur himbauannya akan urgensi ilmu logika, tetapi juga akan membentur pelarangannya terhadap filsafat. Sebetulnya, bila diamati lebih jauh, paradoksalitas pemikiran al-Ghazali lebih disebabkan karena beratnya beban ideologi aliran Sunni yang menindih pundaknya. Himbauannya untuk mempelajari ilmu logika sebenarnya merupakan upayanya untuk menggantikan konsep pembimbing suci’ aliran Syi’ah Batiniyah. Sementara, rumusan tasawufnya sengaja dicanangkan untuk menjadi pengganti atas bangunan spiritualitas Syi’ah Batiniyah. Begitu pula pengkafirannya terhadap filsafat tidak lain adalah untuk mematikan landasan filsafat Syi’ah Batiniyah tersebut. Dalam pandangan al-Ghazali, filsafat Batiniyah adalah perwujudan dari filsafat Neoplatonisme yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Sehingga, pengkafiran terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina diharapkan akan dapat meruntuhkan dasar-dasar filsafat Syi’ah Batiniyah.[]
\n\n arti musyahadah dan mukasyafah
Danasal usul/ pokok daripada ketaatan, terjaga (melek), terhindar dari barang haram, syubhat dan makruh, dan musyahadah (melihat Alloh), itu sebab tidak adanya ridho dengan nafsu. Alloh swt sudah dawuh kepadaku melalui ilham dan mukasyafah : Hai Wali Ghouts yang agung, Mujahadah itu sebagai lautannya Musyahadah. Adapun ikan-ikannya yaitu
MUSYAHADAH Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi, karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang islam jika orang tsb belum menyatakan akan akan dua kalimat shahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah dibutuhkan ,sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatanya dari yg kedua tadi. Akan tetapi kata mushahadah disini berarti penyaksian, yg berartikan bahwa suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yg tidak diragukan lagi Di dalam Al Qur'anul Karim disebutkan tentang musyahadah/penyaksian seperti Ayat di bawah ini "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." Thaha 12 "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."Al-Baqarah 115 "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." Al-An'aam 79 Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak "Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta." Musyahadah yaitu Menyaksikan Allah" hubungan dengan mukasyafah, yang menghalangi diri hamba dengan Allah itu tidak ada,namun yang menghalangi adalah prasangka adanya sesuatu selain Alloh, dan Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkanpantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya. Kesadaran menyaksikan dan Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah kondisi ruhani masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya. Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk." Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah. Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam "Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah. Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah." Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran Mufatahah artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya. Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia. Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu." Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr rahasia batin dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yangdisabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya." Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud." Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti." Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan nyatalah pada pandangan tentang Wujud yang terang.
Bashirah Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti
MUHADHARAH, MUKASYAFAH, DAN MUSYAHA­DAH Muhadharah adalah kehadiran hati, kemudian setelah itu terjadi mukasyafah, yaitu kehadiran hati yang disertai kejelasan ketersingkapan, kemudian timbul musyahadah, yaitu kehadiran Al-Haqq dalam hati tanpa bingung dan linglung. Jika “langit sirri” rahasia ketuhanan bersih dari “mendung sitru”, maka “matahari kesaksian” terbit dari bintang kemuliaan. Hakikat musyahadah seperti yang dikatakan Imam Al-Junaid, semoga Allah merahmatinya, “Wujud Al-Haqq bersama kelenyap­anmu. Salik yang mengalami muhadharah terikat dengan ayat­-ayat-Nya. Salik yang mencapai mukasyafah dilapangkan dengan sifat-sifat-Nya. Dan salik yang memiliki musyahadah ditemukan dengan Dzat-Nya. Salik yang muhadharah akalnya menunjuk­kannya. Salik yang mukasyafah ilmunya mendekatkannya. Dan salik yang musyahadah ma’rifatnya menghapusnya.” Tidaklah bertambah penjelasan mengenai hakikat musya­hadah kecuali diperkuat dengan apa yang diutarakan Amru bin Utsman Al-Maki, semoga Allah merahmatinya. Inti ucapan yang disampaikannya adalah menerangkan bahwa hakikat musyahadah adalah cahaya-cahaya tajalli yang datang susul-menyusul pada hati salik tanpa disusupi sitru dan keterputusan, sebagaimana susul-menyusulnya kedatangan kilat. Malam yang gelap gulita dengan disertai kilat yang datang susul-menyusul dan sambung ­menyambung dapat menjadikannya terang seperti dalam siang. Demikian juga hati jika senantiasa diterangi dengan keabadian tajalli, maka kenikmatan “anugerah siang” kiasan tentang konti­nuitas anugerah keilahian dan ketersingkapan ketuhanan dengan pemanjangan waktu siang hingga menjangkau malam hari akan selalu mengada, sehingga malam tidak lagi ada. Mereka bersyair malamku dengan wajah-Mu terbit bersinar cahaya kegelapannya pada manusia berjalan di waktu malam manusia dalam kepekatan malam yang gelap gulita sedang kami dalam cahaya siang yang terang benderang An-Nuri berkata, “Tidak sah musyahadah salik selama dia dalam keadaan hidup. Jika waktu pagi terbit, lampu tidak dibu­tuhkan lagi.” Segolongan ulama sufi membayangkan bahwa musyahadah menunjukkan keberadaan ujung taftiqah perpisahan, lihat pasal arqu karena bab mufa’alah timbangan kata dalam bahasa Arab hanya terjadi dalam penerapan di antara dua makna. Ini jelas menunjukkan khayalan pelakunya karena di dalam penampakan AI-Haqq adalah kehancuran makhluk. Dalam syair dikatakan ketika menjadi terang pagi hari cahayanya memancar dengan sinar-sinar yang berasal dari pantulan sinar-sinar bintang meminumkan pada mereka segelasdemi segelas saat cobaan membakar sehingga membuatnya terbang secepat orang yang pergi menghilang Gelas apapun akan mencabut mereka dari akamya dan mem­buat mereka fana’ hancur. Gelas menyambar mereka dan tidak membiarkan mereka, tetap dalam keberadaan. Padahal tidak ada gelas yang menetapkan dan memercikkan mereka. Gelas yang mencabut mereka secara keseluruhan dan tidak sedikit pun tulang-belulang manusia yang masih membekas dan ada , adalah seperti yang dikatakan sufi “Mereka berjalan di malam hari tidak tetap, tidak membekas dan tidak meninggalkan jejak.” ………………. Keterangan Dalam pengertian ini Allah berfirman “Kalau sekiranya Kami turun­kan AI-Quran ini pada gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk tersungkur terpecah belch disebabkan takut kepada Allah.” QS. AI-Hasyr- 21 sumber
.

arti musyahadah dan mukasyafah